Jumat, 12 Juli 2013

Bumi Mekongga


 

ASAL MULA NAMA GUNUNG MEKONGGA

Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume (kini bernama negeri Kolaka) dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis.

Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan takut. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya.

Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba (kini bernama Belandete) ada seorang pintar dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi.

”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul.

”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan.

”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh (bambu) yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi.

Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda.

Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka.

”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan.

Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya.

Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu.

Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu.

Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu.

Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan.

Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi.

”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan.

”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi

”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka.

”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi.

Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.

”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi.

Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur dan suara petir. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut.

Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda.

Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotu‘o”.

                                                                   * * *
Terjemahan kedalam bahasa Tolaki:

                                  TARAMBU’UNO TAMONO O’OSU MEKONGGA

Saritano, laa o’aso tembono wonua Sorume (hende’ino tamono Wonua Kolaka) nokono’i abala kadu’ito owoseno. Laa manu-manunggaruda masa’ako laa mohitupi wonua nggitu’o. Tudu oleo, manu-manunggaruda tudu monggamo, monggamo lumangge, ronga monggamo koleleno to’ono dadio, hende’to kiniku, o sapi, o wembe. Keno tembono no’kadadia lau-lau, menggau-menggau koleleno to’ono dadio nggo’opu.

To’ono dadio wonua Kolaka tewere ronga motaku. Keno koleleno opu’ito, nggo hiroto no’kinano. Ieto alasano aro motaku peluarako ari laika mepolaha toro’aha. Kondu’uma to’ono dadio peruku’aro to’ono dadio wuta molua tamono Wuta Molua Bende. Wuta molua ino pesala’ano to’ono dadio lako ine pombahoraro. Tembu’uto nolaa manu-manunggaruda nggiro’o molua ino monua-nua ito, lakonoto tanio to’onota barani meruku.

Laa aso tembo, nepombodea o bawo keno i wonua Solumba (hende’ino tamono Balende) laa aso to’ono nomotau ronga kabala tamono i Larumbalangi. Laa lekeno ronga aso lawa o sawu pusaka inakeno lumaa. Lakonoto inoliwi opio-pio to’ono ronga teposuangge to’ono kabala i wonua Solumba. Keno te’embe yamono kinamo manu-manunggaruda, lakoroto ando’olo motu’o ronga lakoroto mehiako pu’unggasu owose.
Dungguro i wonua Solumba, to’ono ino liwiro sumaru’ikero laa kadadia i wunuaro Larumbalangi.

“Yamoto i tewere laa kadadia ino. Biar kuta’etai inggomiu haika mokotaha’i manu-manunggaruda.” note’eni Larumbalangi ronga komomo.

“Keno te’embe? Yamotoka kilawa’i manu-manunggaruda, peluarako tokaa ari laika taki barani.” note’eni to’ono inoliwi.

“Hende’ino peohai. Kombulu’i kowuna ato mbowai kowuna mondilo dai-dadio. Aringgiro’o, peopolaha langgai barani ronga mokora nggo pombanino manu-manunggaruda i tonga wuta molua. Ano, walai to’ono nggitu’o ronga kowuna mondilo ronga ranjau’i! Parendai Larumbalangi.

Arino modeai, pombokondauno mbembuleiroko i wonuano mokodunggu’ikero oliwino Larumbalangi. To’ono dadio i wonua nggitu’o mondairo langgai moseka’ako nggo eta’i lomba numonarigi’i manu-manunggruda.

Mohinano, o etu langgai moseka leu ari laa luwuako wonua nggo leu mokumulunggitu’o. Leu mbekumbulu i rai laikano banggonano i wonua Kolaka.

“Hende’ino Peohai nggo luwuako! Inae nggo pinowile tewali pomba’ani ronga ano peponangiki manu-manunggaruda, keno iee ata, nggo ieeto tewali to’ono nggomesa. Ronga keno iee to’ono nggawasa, nggo’eto tewali presideno i wonua ino.” Banggonano wonua ne’pidato.

Aringgoro’o, sayembara pinokolako’ito kadu’ito motindino. Owa-oaso to’ono nopokiki’i kabalano. Aringgiro’o, sayembara nggiro’o nopopenangi o ata tamono Tasahea ari wonua Loeya.

Laa aso tembo, Tasahea niawo niwuta Bende nggo pomba’ani manu-manunggaruda. Laato aso tembo, no laa moia i tonga wuta molua, o ata nggiro’o niwala ako kowuna mendilo. Iee pinowehi o aso kowuna mendilo laa rasuno. Luwuako sadia’ito, luwuako to’ono dadio meihako pu’unggasu libutano o wata lua. Moiato Tasahea dowono i tonga lapanga umo’oloi ieno menu-manunggaruda.

Merambi ndonga oleo. Laahuene mengga masa’ako ano rorma. Ngiro’o tandanoto manu-manunggaruda noki’ito panino. Sana’ito penaono manu-manunggaruda nokondo’i to’ono laa menggokoro i tonga wuta molua Bende. Ronga mearo’ito, iee lumaa oputu’ito kumikisi Tasahea. Mano, salawahia’ito manu-manunggaruda. Okino hori umalu’i kumikisi’i Tasahea, wotoluno ronga panino no’ohu ike kowuna mondilo.

Tasahea okino powei tembo. Ronga merare, nokalikeeto kowuna mendilo ine wungguarono manu-manunggaruda. Ronga suara meia, manu-manunggaruda gunugiriri’ito mohakinito ronga mekapasi panino. Tebindano panino arine kowuna mendilo, manu nggiro’o lumaa me’ita’ito lako i kambo Pomalaa ronga luma’i kambo Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, ano pulau Maniangi. Mano, okino hori dunggu Pomalaa, iee moisa’ito i mumuosu me’ita. No’oputo ponduleno. Sambe mate’ito i mumuosu me’ita.

To’ono dadio wunua Kolaka mokoehe-ehero nototambe’i Tasahea, iee nonaningi’i manu-manunggaruda, lakoroto tekonggoko’te o pitu wingi pitu oleo. Mano,  pewisono oleo kopitu, masa’ako aro powuhe momate-mate. Oleo nggiro’o, tebawo haki mate. Dadio to’ono dadio mate nokono’i haki tia ronga pe’ua. Ala pu’unggasu ronga pinopaho to’ono dadio dadio ulerua. Mbuoki teaso pinopahono to’ono dadio nggo pinupuro, te’embe no’opui kumaa i ule. Dadio to’ono dadio mate me’aro.

To’ono dadio laa toro mbule motaku monggi’i kadadia ini motaku akuro nggo mumbule’ako kadadia. I hiro moliwi opip-pio to’ono ine wonua Solumba teposuangge Larumabalangi.

“Wonua mami nokono’i abala,” laa oaso to’ono liwi laporo.

“abala hawoto kumono komiu?” laa mesuko’i Larumbalangi.

“iye, inggomiu! Wonua mami nokono’i abala.” note’eni o aso inoliwi ronga sumaruta’i luwuako laa kadadia i wonuaro.

Meambo’ito hende nggitu bawono. Mbule’ito wonua miu. Okikeno menggau abala ino ano tetoro.” Note’eni Larumbalangi.

Ari’ino to’oni inoliwi lako, Larumbalangi notutu’i matano ronga pepoko’aso pumbe hawano. Lakonoto mobasa-basa o doa ronga tumangge kaeno inaruo i lahueno.

“Ya Ombu Hata’ala! Poko salama’ikona to’ono dadio i wonua kolaka ari abala. Poko tudu’i kona usa keno te’embe mateno manu-manunggaruda ronga ule-uleno ano rongai solo tebundu.” Hende’inoto pongoni o doa Larumbalangi.

Laa aso tembo, Ombu Hata’ala pokomadupa’ike doano Larumbalangi. Sahea lahuene i wonua Kolaka mengga tewali roroma. O gawu tewali me’eto. Okino menggau, peia’ito o gundu ronga o kila. Tudu’ito usa mbuoki tetoro ano sambe opiti oleo pito wingi. Luwuako ala i wonua Kolaka tebundu owose. Mateno manu-manunggaruda nowawe’ito o solo. Ronga ule-uleno laa-laa tuda’i ine tawa ronga puunggasu luwuako tundu’ito.

Ieto sababuno, o tahi i wonua Kolaka dadio ika ronga watu i tahino. O’osu laha’ano mo’isa ronga laha’ano pinepate ano manu-manunggaruda tinamo’ako ieto Osu Mekongga, batuano osu mate’ano manu-manunggaruda. Mbakopo ala owose pondu’ano mateno manu-manunggaruda tinamo’akoito Ala Lamekongga, batuano ala tondu’ano manu-manunggaruda.

Ata langgai ari Wonua Loeya lumangi’i manu-manunggaruda tinene’ito tewali to’ono nggawasa. Mbakoi Larumbalangi ari wonua Solumba tinene’ito tewali presideno wonua Kolaka, ieto wonua laa pitu wonua pamarenda’a teto’oriako “Tonomotu’o”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar